Trah Panembahan Wongsopati Ing Klero
Mudzakarah Trah Darah Pati Unus ing Sabrang Lor [Mijil ing Japara,1480-Syahid ing Selangor Malaysia,1521], Trah Darah Panembahan Wongsopati ing Klero [Sedha ing Klero,1680], Trah Brayat Ageng Kyai Karto Dreyan ing Kentheng [Sedha ing Kentheng,1943] dumugi Trah Kanjeng Raden Tumenggung Hasan Midaryo ing Kalasan [Mijil ing Prambanan,1921-Sedha ing Kalasan,30 Maret 2004]
Duk Djaman Semono, Kandjeng Edjang Boeyoet Ing Klero nate paring wewarah,".. Djoedjoer Lahir Bathin Berboedi Bowo Leksono Adedhasar Loehoering Agomo, Djedjer Welas Asih Sasamoning Titah Adedhasar Jiwo Kaoetaman Lan Roso Kamanoengsan, Lan Djadjar Manoenggal Wajibing Patrap Bebrayan Agoeng Adedhasar Endahing Tepo Salira Manembah Ngarsaning Goesti Allah Ingkang Moho Toenggal, Ngrenggo Tjiptaning Koesoema Djati Rila Adedharma Mrih Loehoering Bongso, Agomo, Boedoyo, Lan Sasamining Titahing Gesang Ing Ngalam Donya, Ikoe Lakoening Moekmin Sadjati.." [Wewaler KRT. Hasan Midaryo,1999]
Rabu, 25 Agustus 2010
Petilasan Sunan Geseng di Bagelen
Riwayat tentang Wali Songo sebagai penyebar agama Islam di Pulau Jawa telah menjadi bagian dari sejarah Islam Indonesia . Salah satunya adalah, Sunan Kalijaga. Ternyata beliau pernah singgah di Tanah Bagelen.
Di sini meninggalkan sebuah cerita yang sangat menakjubkan dengan bukti berupa petilasan yang masih terjaga dengan baik dan bisa disaksikan oleh siapa saja yang ingin melihatnya. Petilasan itu berupa batu gosong, yang konon diyakini sebagai tempat duduk Sunan Geseng ketika terbakar oleh api.
Sunan Kalijaga amatlah dekat dan melekat di hati kaum muslimin di Tanah Jawa melebihi yang lainnya. Kelebihan utamanya adalah kepiawaiannya memasukkan pengaruh Islam ke dalam adat tradisi orang Jawa. Kecintaan masyarakat Jawa terhadap wayang, memberikan inspirasi bagi Sunan Kalijaga untuk memasukkan hikayat-hikayat Islam ke dalam permainan wayang. Sunan Kalijaga adalah pencipta lakon wayang kulit dan pengarang buku-buku wayang yang mengandung cerita dramatis bernuansa Islam.
Salah satu murid kinasih Sunan kalijaga adalah Sunan Geseng. Beliau adalah murid yang sangat patuh dan setia terhadap semua perintah Sunan Kalijaga. Pada suatu hari Sunan Kalijaga ingin menguji kesetiaan Sunan Geseng dengan ujian yang cukup berat. Sunan Geseng yang waktu itu masih bernama Ki Cokrojoyo, buyut Nyai Ageng Bagelen, diminta untuk menjaga dan memegangi tongkat yang ditancapkan di sebuah bukit di wilayah Bagelen. Sunan Kalijaga berpesan agar Ki Cokrojoyo tidak meninggalkan tempat itu sampai beliau kembali.
Ki Cokrojoyo duduk bersila memegangi dan menjaga tongkat yang ditinggalkan oleh Sunan Kalijaga. Hujan, panas, dingin dan ancaman binatang buas selama menunggui tongkat gurunya tak sejengkalpun Ki Cokrojoyo menggeser tempat duduknya. Ia tetep tak bergeming dari tempat duduknya, meski hanya sesaat. Hari demi hari, bulan terus berganti, tahun demi tahun tak terasa Ki Cokrojoyo telah duduk bersila memegangi dan menjaga tongkat gurunya selama 7 tahun.
Setelah 7 tahun itulah Sunan Kalijaga kembali ke tempat itu untuk menemui muridnya Ki Cokrojoyo. Namun apa yang terjadi di luar dugaan? Muridnya tak terlihat lagi di tempat itu. Bukit tempat dimana Ki Cokrojoyo memegangi dan menjaga tongkat Sunan Kalijaga sudah berubah menjadi sebuah hutan yang sangat lebat.
Sunan Kalijaga dengan amat terpaksa membakar tempat itu untuk mengetahui tempat sang murid, yang ditinggalkan sendirian selama 7 tahun tersebut. Dengan keadaan hutan yang sangat menyeramkan, hati Sunan Kalijaga tak yakin apakah Ki Cokrojoyo masih bertahan di tempat itu.
Setelah tiga perempat bagian hutan itu habis terbakar, di sanalah tampak Ki Cokrojoyo duduk bersila dalam keadaan sama persis ketika ditinggalkan dahulu. Tubuhnya hitam terpanggang api sambil memegangi erat tongkat Sunan Kalijaga yang ditancapkan di tanah.
Bagian Ki Cokrojoyo tampak gosong akibat terpanggang api, namun dirinya tak bergeming sedikitpun dari tempat duduknya. Hati Sunan Kalijaga terharu saat itu. Beliau belum pernah menemui kesetiaan dan ketaatan yang sangat luar biasa dari seorang muridnya itu sebelumnya. Melihat pengorbanan sedemikian besar yang telah diberikan oleh muridnya, maka sejak itu Ki Cokrojoyo telah lulus ujian dan dinilai telah memiliki ilmu setingkat dengan ilmu seorang wali. Lantas Ki Cokrojoyo diberi gelar Sunan Geseng.
Petilasan Sunan Geseng berada di puncak Gunung Siringin, Pedukuhan Gatep, Desa/Kecamatan Bagelen, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Selain di Bagelen petilasan Sunan Geseng juga terdapat di daerah Piyungan Bantul (DIY), Kebumen (Jateng) dan makamnya berada di Argotirto, Magelang (Jateng). Tidak jauh dari lokasi petilasan juga terdapat sebuah batu besar dengan permukaan agak rata dan lebar.
Oleh penduduk setempat diberi nama Si Roto, diyakini tempat berkumpulnya para wali dalam membahas syiar Islam di Tanah Jawa. Hingga sekarang juga masih ada peninggalan Sunan Geseng lainnya, yakni berupa bangunan masjid yang sekarang diberi nama Masjid Sunan Geseng. Masjid ini terletak di Pedukuhan Kauman, Desa/Kecamatan Bagelen, kurang lebih berjarak 2 Km dari lokasi petilasan Sunan Geseng.
Hampir setiap hari banyak orang datang berziarah di sini. Peziarah tersebut tidak hanya berasal dari Kabupaten Purworejo saja, tak sedikit juga peziarah yang datang dari luar kota . Seperti dari Semarang , Jakarta , Bandung , Jogjakarta , Solo, kota-kota besar lainnya di Pulau Jawa ini.
Jalan menuju ke lokasi batu petilasan Sunan Geseng kurang lebih berjarak 500 meter dari jalur utama Jalan Raya Purworejo-Jogjakarta Km 11,5. Jalannya cukup menantang, sedikit terjal karena terletak di puncak bukit yang memiliki ketinggian kurang lebih 100 meter di atas permukaan tanah. Meski demikian jalan ke lokasi sudah cukup nyaman dengan adanya perbaikan oleh pemerintah setempat.
Matur nuwun, Mas eko Mulyanto Bagelen
Komentar
Posting Komentar