Othak-Athik Gathuk: Semiotika ala Jawa

Kalo ditanya, “Siapa Bapak semiotika?”, tak ayal banyak yang bakal jawab, “Ferdinand De Saussure atau Roland Barthes”. Tapi oh tapi, asal tahu aja, jauuuuh sebelum Saussure atau Barthes menerapkan semiotika, masyarkat Jawa kuno ternyata sudah mempraktikan metode ini lho!
Secara harfiah, Othak-Athik sendiri berarti “otak-atik” dan “Gathuk” itu “Mencocokkan”, kasarnya mengotak-atikan sesuatu biar pas, mirip dengan penerapan semiotika Barthes pada budaya pop jaman sekarang. Konon, Keraton Jawa maju pesat berkat Othak-Athik Gathuk ini, yang dipegang oleh kelompok Punakawan: Semar, Gareng, Bagong, dan Petruk.
Punakawan

Kesamaan Semiotika dengan Othak-Athik Gathuk ini adalah bahwa mereka menelaah simbol dan pesan yang ada pada hasil karya manusia. Hal yang umum diketahui orang bahwa masyarakat Jawa memang penuh simbol dan multi-makna: setiap kata, ritual, penanggalan, dan lain2 selalu bersimbol.
Yang membuat Keraton Jawa maju pesat tentu saja penggunaan Othak-Athik Gathuk pada ramalan-ramalan Jawa kuno, dan itu ditulis ratusan tahun silam. Misal saja ada ramalan jawa: Pemimpin di Tanah ini ada Joko Lelono, keturunan Ningrat, dan Pemimpin sesudahnya menurunkan derajat negeri. Ramalan tersebut di-Othak-Athik-Gathuk-an: Joko Lelono (Suka Bepergian) Keturunan Ningrat.. ternyata Gus Dur.
Ada lagi ramalan Jawa: Indramayu akan makmur kalau ada ular menyebrangi sungai Cimanuk. Jika di-Othak-Athik Gathuk-an maka terbaca bahwa ternyata Indramayu bikin kilang minyak pertamina dengan pipa bawah tanah yang banyak, dan Indramayu jadi lebih “hidup”.
Gak cuma ramalan, Ritual dan hari pun bisa di-othak-athik gathuk-an lho. Misal hari “Seloso” (Selasa), di-otak-atik jadi Sela-selane Mongso (Longgar atau Sepi di Tengah2), maka muncul tradisi untuk tidak memulai sesuatu saat hari Selasa, konon bisa bawa sial. Ada lagi ritual tebar bunga, koin, dan segenggam beras pas pemakaman jenazah. Ritual tebar bunga di pemakaman perlambang agar mereka yg hidup hanya mengingat hal-hal yang wangi atau baik saja dari jenazah, sementara Ritual tebar koin dan beras berarti bahwa si jenazah hanya membawa kebajikan saja ke Alam Sana, tanpa perlu bawa harta.
Orang Jawa juga punya tradisi untuk tidak mengadakan pernikahan di bulan Suro (Bulan Muharram), kenapa? Karena “Suro” itu di-Othak-Athik-an menjadi “Surau”, tempat orang beribadah.. Maka Bulan Suro (Muharram) itu difokuskan untuk beribadah, bukan menikah.
Keruntuhan Majapahit pun disebutkan dalam ramalan Jawa yang di-Othak-Athik-Gathuk-an. Kerajaan Majapahit runtuh pada tahun 1400, maka 1 = bumi (1 disimbolkan benda-benda tunggal), 4 = kerta, 0 = sirna, 0 = ilang (0 simbol dari sesuatu yang gak ada). Maka 1400 dibaca sirna ilang kertaning Bumi (hilang ditelen Bumi), Kerajaan Majapahit runtuh pada tahun itu.
Ternyata Othak-Athik Gathuk tentang siapa aja Presiden RI udah tertulis jaman dulu pula lho. Urutannya seperti ini:
1. charming (Soekarno)
2. banyak harta, (Soeharto)
3. pinter tapi gak pada tempatnya (Habibie)
4. Joko Lelono/Suka berkelana (Gus Dur)
5. (lupa.. hehehe, Megawati lah pokoknya)
6. paling lemah (SBY)
7. Satriya Piningit
Era si “paling lemah” ini, puncaknya Indonesia goro-goro (gara-gara/ kekacauan) yang kacau, hancur-hancuran! (ya semoga gak kejadian), namun begitu pemimpin ke-7, si Satriya Piningit, dikabarkan sebagai era kebangkitan Indonesia!
Jadi memang bahwa Othak-Athik Gathuk ini hadir jauh sebelum semiotika dipraktekan oleh kelompok Barat. Keren kan, Indonesia? (https://insemioticwetrust.wordpress.com/)

Komentar

dakwatuna.com

Postingan Populer