Tradisi Sungkem Pepunden Di Dukuh Ngrantan Mulai Ditinggalkan

Istimewa TRADISI—Foto saat pasangan penganting melakukan sungkem pepunden, tradisi yang kini mulai ditinggalkan.
Istimewa
TRADISI—Foto saat pasangan penganting melakukan sungkem pepunden, tradisi yang kini mulai ditinggalkan.
Warga Dukuh Ngrantan, Grogol, Sukoharjo, memiliki tradisi unik menjelang pernikahan. Meski tak lagi banyak dilakukan, namun sisa-sisa tradisi itu masih ada
Sebuah tradisi memang kadang sangat sulit untuk ditinggalkan. Terlebih lagi jika tradisi tersebut sudah dilakukan turun temurun sejak nenek moyang. Namun, sebagian lainnya juga ada yang mulai dilupakan karena tergerus modernisasi.
Sejak pertama kali mendengar tentang adanya tradisi ini, timbul rasa penasaran untuk mencari tahu lebih jauh. Dan Jumat (28/10), Joglosemarberkesempatan bertamu ke sebuah rumah di RT 2 RW 2 Dukuh Ngrantan, Grogol, Sukoharjo, dan langsung disambut sang pemilik rumah, Eni Mujiyanti.

Dari Eni inilah, kemudian didapat kisah tentang ritual pernikahan tak biasa di daerah tersebut, yang ia lakoni sendiri enam tahun silam, saat dirinya berusia 21 tahun.
Eni pun memperlihatkan album foto pernikahannya. Awalnya, tak ada yang berbeda dari foto-foto di album tersebut. Sampai pada satu halaman yang memajang foto Eni beserta suami dan keluarga sedang duduk sungkem di depan sebuah pohon.
“Ya itu tradisinya sini, sungkem sama pohon beringin. Itu tradisi sejak dulu,” ujar Eni yang kini telah memiliki dua anak.
Perempuan berkulit sawo matang itu kemudian menceritakan lebih jauh tentang pohon beringin, yang oleh warga sekitar disebut “pepunden” atau sesepuh.
Berdasar tradisi yang disebut Sungkem Pepunden tersebut, setiap orang yang akan menikah, dianjurkan untuk mengitari pohon pepunden dan sungkem untuk meminta restu dan panguparan atau permohonan maaf.
“Dulu setiap orang yang mau nikah harus ke pepunden dulu. Sampai sekarang mungkin masih meski sudah jarang. Cuma sebagian yang masih meyakini namun tidak semua mau karena calon mempelai sudah tidak punya nenek atau orangtua yang menganjurkan melakukannya,” tutur dia.
Eni menjelaskan, tradisi sowan ke pepunden tersebut diawali dengan pemberian sesajen saat midodareni. Kemudian, seusai ijab qabul, kedua mempelai dipertemukan lantas berputar mengitari pepunden sebanyak tujuh kali bersama pengiring atau sanak keluarga.
Kemudian kedua mempelai dan salah satu sesepuh yang ditunjuk melakukan sungkem di depan pepunden. “Kalau saya ikut orangtua saja, nurut. Kan tujuannya juga baik agar pernikahan langgeng tidak ada yang dirugikan,” ucapnya.
Salah satu sesepuh yang dulunya kerap membantu calon mempelai melakoni tradisi ini, Harsini (60) mengaku bahwa sekarang ini sudah tidak lagi ada hal seperti itu. Karena sudah banyak anak muda yang lebih memilih simpel saat menjalani adat pernikahan.
“Kalau saya sekarang terserah yang punya hajat. Apakah dia mau pakai tradisi ini atau tidak. Kalau diminta bantuan akan saya bantu. Kalau tidak ya tidak apa-apa,” ucapnya.
Dynda Wahyu Wardhani

Komentar

dakwatuna.com

Postingan Populer