Langsung ke konten utama

Melayu Bertahan di Singapura Berkat Orang Jawa

(Foto : Ist)


SINGAPURA atau Republik Singapura secara resmi memperoleh kedaulatan pada 9 Agustus 1965. Dr M. Yusuf atau sering juga disebut Yusof bin Ishak disumpah sebagai presiden, dan Lee Kuan Yew menjadi perdana menteri (PM) pertama. Seperti negara-negara yang sedang berkembang lainnya, Singapura miskin dan kumuh.

Pada waktu itu, PM Lee memperkenalkan konsep meritocracy (Filosofi politik yang berpandangan bahwa kekuatan/kekuasaan harus dipegang oleh individu berdasarkan prestasi). Jika Singapura ingin maju, maka hendaknya warga Singapura lebih mengutamakan pemimpin yang cakap, tanpa harus melihat latar belakang ras, dan agama. 

Rupanya konsep tersebut diterima masyarakat Singapura. Ras Tionghoa yang dominan dalam ekonomi dan pendidikan mendorong konsep itu. Apalagi, warga negara Singapura keturunan Tionghoa lebih dominan di bidang ekonomi maupun pemerintahan. Sebaliknya, warga Melayu semakin pudar perannya. 


Pada sekitar tahun 1975, pemerintah Singapura menghapuskan pelajaran bahasa dan kebudayaan Melayu di sekolah-sekolah. Bahasa yang diwajibkan pemerintah di sekolah adalah bahasa Inggris atau bahasa Mandarin. Dengan demikian, ras Melayu pun semakin terpojok. 

Beberapa pengamat Melayu, seperti Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah), mulai mempersoalkan hal ini. Namun, Hamka harus menelan pil pahit, karena akhirnya pemerintah Singapura melarangnya masuk ke Singapura. 

Awalnya, Kota Singapura didiami oleh mayoritas penduduk Melayu. Rumah-rumah penduduk Melayu berada di hampir seluruh peloksok Singapura. Namun, pemerintah Singapura menerapkan pajak tanah yang tinggi, sehingga banyak penduduk Melayu yang tak mampu membayar pajak. Mereka terpaksa menjual tanahnya kepada orang yang lebih mampu, yaitu etnis Tionghoa. 

Seorang penduduk lama Singapura, keluarga Melayu Jawa memiliki tanah cukup luas di jalan 6th Avenue. Berkat usaha produksi tempe dan tahu yang ditekuninya, tanah itu dibeli jauh hari sebelum peraturan itu diberlakukan.

Ketika aturan pajak tinggi sudah berlaku, keluarga Melayu Jawa itu mendapat surat dari pemerintah Singapura yang berisi bahwa lahan yang didiaminya akan dijadikan kawasan elit dengan persyaratan rumah mewah. 

Jika keluarga itu ingin tetap memiliki tanah tersebut, maka mereka harus membangun rumah dengan standar yang telah ditentukan. Atau, menjual tanahnya kepada pemerintah/ swasta. Agar bisa dibangun pemukiman mewah, seperti yang direncanakan pemerintah.

Beruntung, anak-anaknya mampu membangunkan rumah yang disyaratkan, sehingga rumah tersebut menjadi benteng terakhir masyarakat Melayu di kawasan itu.

Sikap pemerintah Singapura terhadap warga Melayu menjadi perbincangan hangat, ketika keluar kebijakan bahwa warga Melayu yang masuk menjadi tentara Singapura, hanya akan mencapai pangkat tertentu. Karir kemiliterannya tak dapat diteruskan sampai jabatan puncak. Alasannya, warga Melayu diragukan kesetiaannya terhadap Negara Singapura. 

Waktu berjalan terus, Singapura yang semula merupakan bagian dari kesultanan Johor telah menjadi negara maju dengan mayoritas Tionghoa.

Bagaimana Jakarta?

Dengan perkembangan yang sedang dan akan terjadi di Jakarta, banyak warga Jakarta yang mempertanyakan, apakah Jakarta akan berkembang seperti halnya Singapura?

Konsep meritocracy ala Singapura pun mulai diberlakukan di Jakarta. Misalnya mengenai lelang jabatan, kebijakan agama tak perlu dicantumkan di KTP, sampai naiknya pajak bumi dan bangunan (PBB) yang hampir 20%. 

Khusus soal kenaikan pajak ini, akhirnya memicu munculnya opini bahwa warga kurang mampu harus keluar dari Jakarta. Sebab, kebijakan ini sangat memberatkan penduduk yang berekonomi kurang mampu. Mereka pun harus bersiap-siap keluar Jakarta dan menjual tanah dan rumahnya.

Pedagang Kaki Lima (PKL) yang masih mendominasi sektor ekonomi kecil, mempunyai atribut yang jelek. Mereka dianggap memacetkan jalan dan mengotori Jakarta. Upaya relokasi kurang mempertimbangkan kesinambungan pendapatan mereka, sehingga sebagian juga harus keluar dari Jakarta.

Sebaliknya, kepemilikan rumah di kawasan Menteng, sekitar masjid Agung Al-Azhar, lebih dari separuhnya sudah dimiliki oleh saudara-saudara kita yang beretnis Tionghoa. Begitu juga dengan kawasan Pluit, Pantai Indah Kapuk, Glodok, dan Kelapa Gading, mayoritas dihuni mereka. 

Apakah warga pribumi di Jakarta akan menjadi minoritas. Mereka hanya akan menonton pembangunan Jakarta dari pinggiran? Apakah Jakarta akan berkembang seperti Singapura yang sebagian besar bisnis kepemilikan gedung dan rumahnya merupakan milik saudara-saudara kita dari etnis Tionghoa. Dan, warga Jakarta akan terus terpinggirkan? 


Diolah ulang dari berbagai sumber oleh:

Drs. Alfian Tanjung M.Pd
Dosen FKIP UHAMKA

Komentar

dakwatuna.com

Postingan Populer